Masyarakat kapitalis Barat yang menjadi lingkungan tempat hidup perempuan itu telah menentukan standar ukuran “wanita cantik”.
Menurut mereka, wanita cantik itu adalah perempuan yang tinggi, ramping, berkulit putih, berambut pirang, dan sensual. Inilah citra yang mau tak mau harus dihadapi kaum perempuan Barat setiap hari sepanjang hidupnya. Ini adalah konsep tentang kecantikan yang diagung-agungkan oleh ribuan majalah kecantikan, fesyen, dan gaya hidup, yang dijual di sepanjang jalan-jalan di kota London, Paris, Roma, New York, dan Los Angeles, seperti majalah Vogue, Cosmopolitan, dan Marie Clare.
Ini adalah juga konsep kecantikan yang dibesar-besarkan oleh perusahaan-perusahaan alat kecantikan dan kosmetik berkapitalisasi miliaran dollar. Ini juga yang menjadi ukuran kecantikan, yang disajikan ke tengah-tengah masyarakat melalui model-model yang dimanfaatkan oleh berbagai industri periklanan serta menjadi figur-figur yang dipuja-puja dalam industri hiburan.
Konsep tentang bentuk tubuh dan penampilan yang “sempurna” ini membombardir rumah-rumah ribuan kali sehari dalam wujud para model, seperti Claudia Schiffer, Cindy Crawford, Naomi Campbell, atau selebritis lain seperti Britney Spears, Jennifer Aniston, Holly Valance, atau Victoria Beckham. Mereka menjadi standar yang diinginkan oleh kaum perempuan. Penayangan konsep kecantikan seperti ini bahkan telah dimulai sejak usia muda, melalui majalah-majalah “remaja” seperti Just 17, Cosmo Girl, atau Sugar, yang membicarakan segala sesuatu mulai dari tips-tips kecantikan sampai bentuk gaya hidup “kaya dan terkenal”. Karakter fiktif seperti Buffy the Vampire Slayer, atau Miss Dynamite pun dijadikan idola.
Dengan arus yang sedemikian kuatnya pengaruh konsep kecantikan seperti itu di tengah-tengah masyarakat, maka perempuan-perempuan yang hidup di Barat merasakan tekanan yang terus menerus, yang memaksa mereka untuk memenuhi harapan-harapan itu. Kalaupun bukan untuk kepentingan perempuan itu sendiri, maka penampilan atraktif itu ditujukan untuk memenuhi harapan-harapan kaum lelaki yang juga tidak bisa lepas dari citra seperti itu. Kaum lelaki juga terpengaruh dengan konsep tentang kecantikan yang “dipaksakan” kepada mereka.
Kondisi semacam ini semakin tampak jelas dengan adanya fakta bahwa perempuan-perempuan Barat semakin terobsesi dan termakan isu mengenai penampilan fisik mereka. Perhatian mereka pada masalah kecantikan sedemikian besar, bahkan tidak jarang melebihi perhatian mereka terhadap masalah-masalah kehidupan lainnya. Industri kosmetik di Inggris saja mampu meraup penghasilan hingga 8,9 miliar poundsterling pertahun. Sedangkan industri kosmetik Amerika Serikat mengalami pertumbuhan rata-rata 10% setiap tahun. Sebuah artikel di majalah Time pada tahun 1988 menunjukkan bahwa industri makanan diet di AS berhasil mencetak angka penjualan sampai sebesar 74 miliar dollar per tahun. Jumlah ini setara dengan sepertiga dari seluruh anggaran kebutuhan makanan penduduk AS selama satu tahun.
Masih di AS, sebuah survey menunjukkan bahwa kalangan profesional perempuan telah menyediakan anggaran khusus untuk ‘memelihara kecantikan’ hingga sebesar sepertiga dari seluruh pendapatan mereka, dan menganggap pengeluaran ini sebagai suatu bentuk ‘investasi’. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Cincinnati, 33.000 perempuan AS menyatakan kepada para peneliti bahwa mereka lebih menyukai berat badannya berkurang 10 sampai 15 pon, daripada berhasil meraih tujuan-tujuan lainnya. Pada tahun 1998, dalam sebuah kampanye bertajuk “The Bread for Life”, telah disurvey lebih dari 900 perempuan muda berusia 18 sampai 24 tahun yang tinggal di Barat. Dari survey tersebut, para peneliti mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul “Tekanan untuk Menjadi Sempurna.” Ketika para responden ditanya tentang aspek apa yang paling menarik dari seorang perempuan, ternyata 55% responden perempuan itu menjawab aspek penampilan, sementara hanya 1% yang menganggap kecerdasan sebagai aspek tambahan.
Adanya tekanan-tekanan untuk memenuhi harapan-harapan tertentu ini telah mengakibatkan munculnya kegelisahan dan ketakutan dalam diri perempuan Barat berkaitan dengan penampilan fisik mereka. Apakah ia terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu tinggi, terlalu pendek, terlalu pucat, terlalu gelap, atau terlalu tua? Sebuah laporan penelitian yang pernah dikutip oleh New York Times pada tahun 1985 menyatakan, “Orang-orang yang mengalami cacat fisik pada umumnya menyatakan puas dengan kondisi tubuhnya, sedangkan perempuan-perempuan yang kondisi tubuhnya normal pada umumnya tidak puas.” Ada kekhawatiran yang amat besar di kalangan perempuan (Barat) jika mereka menjadi gemuk atau berat badannya bertambah, dan proses penuaan seperti itu hampir-hampir mereka anggap sebagai suatu penyakit. Dr. Arthur K. Balin, ketua American Aging Association, pada tahun 1988 mengatakan kepada The New York Times bahwa, “akan lebih baik jika para dokter menganggap wajah yang buruk itu sebagai suatu penyakit, bukan suatu masalah kecantikan.” Penelitian “The Bread for Life” yang disebutkan di atas juga menemukan fakta bahwa hanya 25% responden perempuan yang merasa bahagia dengan berat badannya, dan ada 22% responden yang memilih tinggal di rumah karena merasa tidak nyaman dengan penampilannya.
Luasnya jangkauan masalah kecantikan ini, terutama yang berkaitan dengan pengaruhnya terhadap perempuan, telah membuat para ilmuwan dan dokter merumuskan suatu istilah “Body Dysmorphic Disorder.” Istilah ini menggambarkan suatu kondisi dimana seseorang memberikan perhatian yang berlebihan atau tidak wajar terhadap suatu kekurangan dalam penampilan fisik seseorang. Jangankan dapat membangun kepercayaan diri, upaya mempercantik diri tersebut justru membuat perempuan merasa lumpuh karena kurangnya kepercayaan diri dan munculnya tekanan-tekanan dari dalam benak mereka sendiri.
Bahkan para perempuan yang mestinya melambangkan arti kecantikan –yaitu para model di catwalk– merasa tidak aman dengan penampilan mereka. The Independent Newspaper baru-baru ini melaporkan penderitaan yang dialami sejumlah super-model terkemuka seperti Karen Mulder yang menderita akibat anorexia (penyakit akibat diet yang kebablasan–pen) dan depresi mental. Untuk mengakhiri penderitaan ini, ia meminum obat tidur dalam dosis yang berlebihan, hingga mengakibatkan ia mengalami koma. Peristiwa ini menunjukkan dengan jelas kekeliruan pendapat bahwa kecantikan akan menghasilkan kebahagiaan.
Pendapat ini jelas merupakan mitos belaka. Kenyataan seperti ini dapat diringkas melalui kata-kata seorang penulis Barat, Mary Wollstonecraft, yang menulis dalam bukunya – A Vindication of the Rights of Women sebagai berikut, “Ajarkan sejak bayi bahwa kecantikan adalah lambang kekuasaan seorang wanita, maka akal akan menyesuaikan diri dengan kemauan tubuh; akal hanya akan dapat berputar-putar dalam sangkar emasnya itu, dan tidak akan dapat berbuat lain kecuali hanya untuk berusaha memperindah penjaranya.”
Love this post! Thank you for sharing.. b^_^d
BalasHapussama2, semoga bermanfaat... :D
Hapus